Sang Penggerak (Bagian satu)

Bersegeralah memulai mewujudkan setiap niat baik. Itulah prinsip yang mengilhami Hasyim Abu Nasir menggalang kepedulian banyak pihak terhadap kekurang beruntungan anak-anak yatim piatu dan anak-anak sekolah di pedesaan di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Terlahir 7 Juli 1954 sebagai anak petani di Lebakgowah, kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Hasyim muda sempat merasakan nikmatnya bangku sekolah. Selepas sekolah rakyat (SR, sekolah dasar zaman dulu) dan madrasah ibtidaiyah (MI, sekolah islam setingkat SD), dia mendapat beasiswa ikatan dinas untuk melanjutkan sekolah calon guru agama di Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Slawi. Calon PNS golongan IIA itu pun menamatkan sekolah PGA empat tahun dan enam tahun sebelum memulai karir sebagai guru agama di sekolah dasar pada awal 1970-an.

“Banyak teman sebaya yang tidak sebahagia saya mengenyam pendidikan. Mereka tidak bisa melanjutkan sekolah (setamat SR/ MI) dan memilih lari mengadu nasib di Jakarta menjadi kuli bangunan, buruh, atau pedagang asongan.”

Kepekaan atas nasib anak-anak usia sekolah di kampungnya itu makin menguat ketika Hasyim menjadi guru agama di lembaga pendidikan Al-Azhar di Jakarta pada 1985-an. Hasyim menyadari sebagai guru SD dengan tanggungan empat anak, dia tidak bisa berbuat banyak untuk menolong kaum papa.

Segera saja Hasyim menyediakan kotak amal di kelas tempat dia menjadi walinya. Kotak itu menampung sisa uang jajan anak didiknya saban hari yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai sekolah anak-anak kurang mampu di kampong Hasyim yang ketika itu hanya Rp. 500,-/ bulan per anak.

Pengumpulan derma lewat kotak amal itu kemudian mendapat simpati dan dukungan dari para orang tua murid. Hasyim pun mulai menggalang dukungan untuk pendirian lembaga yang peduli terhadap nasib anak-anak usia sekolah yang terkendala secara ekonomi, khususnya anak yatim. Hasyim kemudian memotori pendirian Yayasan Al Mukhslisin di Lebakgowah, kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, dan yayasan Al Ikhlas di Cerih, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal berjarak sekitar 10 kilometer dari Slawi ibukota Kabupaten Tegal. Kedua yayasan itu dibentuk pada tahun 1995.

“Modal saya Cuma niat baik dan amanah menjaga kepercayaan orang lain kepada saya.” Pendirian dan operasional yayasan tersebut mendapat sokongan, antara lain dari Tantyo AP Soedharmono dan Sudjono, pengusaha yang juga pemilik yayasan yatim piatu Nurul Aitam Pangkalanjati Baru, Cinere Depok, Jawa Barat.

Dengan modal niat baik, kepercayaan, dan dukungan empat pendiri lainnya, Hasyim mulai membangun kompleks Panti Asuhan Yayasan Al Mukhlisin di Lebakgowah pada 1995. Salah seorang donator pembangunan panti asuhan tersebut yakni para orang tua murid istri Hasyim, Umamah, di SMP Al-Azhar Kemang, Jakarta Selatan.    

Panti asuhan itu dibangun di atas tanah wakaf seluas 1400 m2 dan tanah perluasan 700 m2 yang dibeli dengan dana para donatur. Selain asrama, di kompleks itu terdapat mushola, sekolah (taman kanak-kanak, TPA, dan madrasah diniyah Islamiyah).

Setelah membangun panti asuhan, karya terus berlanjut. Lewat yayasan Al Ikhlas di Cerih Jatinegara, Hasyim membangun Madrasah Aliyah (MA, setingkat SMA) di area tanah wakaf seluas 2000 m2. Pendirian yayasan dan sekolah tersebut berawal dari ajakan Sofan Zein, rekan mengajar Hasyim di lembaga pendidikan Islam Imam Bonjol, Pondok Labu Jakarta Selatan. Sofan mengajak Hasyim menengok kampungnya di Cerih yang tertinggal, terutama di bidang pendidikan.

“Dia (Sofan) ngajak saya menengok kampungnya di Cerih sekalian minta saya mendirikan sekolah Aliyah. Kebetulan mertuanya punya tanah dan berniat mewakafkan untuk keperluan pembangunan sekolah (MA) karena di sana memang belum ada sekolah setingkat SMA.” Katanya dengan logat medok khas Tegal.

Jadilah Hasyim menjadi motor pendirian MA. Hasyim pun melobi para tokoh, pengusaha, dan donator lainnya di Jakarta. Salah satunya yang kemudian menyandang dana pembangunan dan operasi MA setelah berdiri yakni Sudjono. Selain membidani Yayasan Al Ikhlas dan MA di Cerih, Hasyim yang hingga kini menjadi penasihat tersebut menyusun kurikulum dan system manajemen sekolah itu.

Mulai dibangun pada 1996, MA Cerih dibuka pada 1997 dengan jumlah siswa 21 orang. Kini, jumlah siswa yang tertampung di MA Cerih mencapai 100 orang. Kecamatan Jatinegara termasuk daerah pinggiran yang jauh dari pusat kabupaten. Jangankan pergi ke SMA atau sekolah sederajat, bagi warga kecamatan di daerah pegunungan tersendiri. Tidak jarang mereka harus merantau dan indekos di Pangkah atau Slawi untuk bisa masuk SMP yang layak dan berkualitas.

Pada awal pembukaan hingga lima tahun beroperasi, yayasan tidak memungut biaya sekolah kepada para siswa MA Cerih. Namun sekolah gratis itu justru menjadi disinsentif karena siswa gampang keluar masuk dan cenderung menyepelekan urusan belajar di sekolah. Akibatnya, mutu dan jumlah lulusan berkurang. Setelah dikenai bayaran, disiplin dan mutu meningkat sehingga tingkat kelulusan mencapai 100%.

Upaya Hasyim mewujudkan kepeduliannya terhadap kaum duafa itu bukannya berjalan tanpa hambatan. Sebagai orang luar (bukan asli Cerih/ Jatinegara), Hasyim mengaku sempat dicurigai dan mendapat resistensi dari beberapa warga dan tokoh masyarakat setempat di kalangan masyrarakat yang umumnya pengikut Nadhlatul Ulama, sempat pula dihembuskan Hasyim orang Al Azhar seheingga diidentikkan degan Muhammadiyah. Dilandasi niat tulus, Hasyim terus maju. Bersamaan dengan itu, keluarga pemberi tanah wakaf berupaya meyakinkan warga bahwa kedatangan Hasyim benar-benar untuk membantu berdirinya yayasan dan sekolah di kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Pemalang itu.

Tekanan politik juga sempat Hasyim rasakan gara-gara kiprahnya di Yayasan Al Mukhlisin dia sempat dicurigai berambisi menjadi lurah di Lebakgowah. Jabatan lurah di desa-desa memang sering dianggap prestisius dan menguntungkan sehingga menjadi lahan rebutan.

“Saya tidak cocok di posisi itu (jadi lurah). Proses untuk menjadi lurah lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, termasuk perpecahan antar saudara dan warga hanya karena dukung mendukung calon. Saya lebih enjoy menjadi guru,” katanya menutup pembicaraan dengan Media Indonesia. Nurcholis MA Basyari.

Media Indonesia 3 September 2006